Pages - Menu

Selayang Pandang

"Tak seorang pun mampu mendefenisikan cinta dengan sempurna sebab tak seorang pun juga mampu mencintai secara sempurna. Hanya Tuhan yang sempurna, termasuk dalam hal mencintai kita, anda dan saya !"

About Me

My photo
Hi. saya JP / Jansn / Pur. Lahir di tanggal 17 September. Sukses terbesarku ialah ketika setiap pribadi yang mengenalku, tersenyum bahagia saat mendengar namaku dan mereka katakan, 'aku mengasihi dia'.

Tuesday, April 23, 2013

Inikah Reformasi, Wahai "Sang Mahasiswa” ?



Calon intelektual, itulah sebutan yang sering dilekatkan pada Mahasiswa. Orang-orang yang menimbah Ilmu pada jenjang perguruan tinggi. Sebutan yang luar biasa bukan ?
Sangat bangga memang bila melihat sepak terjang “Para Mahasiswa” dalam mengawal sistim pemerintahan bahkan sanggup melengserkan suatu puncak kekuasaan di negeri ini. Hal ini dapat terlihat dengan hancurnya rezim Orde Baru dengan Presiden saat itu yakni, Soeharto akibat demonstrasi besar-besaran oleh “Para Mahasiswa” pada 1998.
Suatu cita-cita yang sangat amat mulia bagi bangsa dan negara ini dalam upaya melahirkan Reformasi. Tidak ada yang salah dengan perjuangan meraih cita-cita ini. Patut diyakini bahwa dasar dari perjuangan gunan melahirkan reformasi ialah kecintaan akan bangsa tercinta, Indonesia.
Reformasi telah terlahir. Reformasi telah diperoleh. Meskipun harus ada yang menjadi korban dan dikorbankan tetapi Reformasi telah lahir. Perjuangan yang luar biasa bukan dari “Para Mahasiswa” ?
Kini setelah reformasi diperoleh, kehidupan semakin sulit. Keamanan dan ketertiban semakin tidak terjamin. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dan yang begitu popuker ialah korupsi kian merajalela, bahkan korupsi diindikasikan kini telah menjadi suat mata pencaharian.
Kemiskinan begitu sering tergambarkan pada layar-layar televisi kita. Kerusuhan, bentrokan antara saudara-saudara setanah air marak terjadi. Banyak orang merasa dirinyalah yang paling benar, paling berkuasa dan sewenang-wenang. Demonstrasi  hampir setiap hari ada. Pancasila dan UUD NRI 1945 seakan hanya merupakan symbol dalam acara-acara formal. Ketakutan akan perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dirasa hampir diseluruh tanah air. Hukum seakan hanya berpihak pada yang kuat, yang berduit. Terjadi kesenjangan social yang begitu luar biasanya.
“Mahasiswa” senantiasa ada untuk rakyat, memperjuangkan aspirasi rakyat, membela hak-hak rakyat dengan segala bentuk demonstrasinya. Rakyat yang mana, yang kalian wakili wahai “Mahasiswa” ? Rakyat yang mana, yang kalian belah haknya, wahai “Mahasiswa” ? Rakyat yang mana yang mengharapkan kalian, membela, memperjuangkan nasib mereka ?
Wahai “Mahasiswa”, kalian selalu dan senantiasa mengatasnamakan rakyat dalam berdemonstrasi namun sebagian besar dampak demonstrasi kalian hanyalah kekacauan, keributan, bentrokan, kemacetan, kerusakan. Apakah semua itu merupakan titipan rakyat yang kalian wakili ?
“Mahasiswa”, kalian terlalu bangga dengan catatan sejarah yang pernah kalian torehkan. Kalian mencoba membenarkan bahkan meghalalkan berbagai cari guna pembenaran seluruh sikap dan tindakan kalian yang mempertontonkan kebobrokan, kebodohan intelektual, ketidaksopanan kalian dengan mengatasnamakan rakyat.
 “Wahai Mahasiswa”, Kesusahan di masa sekarang, penderitaan sejak reformasi digulirkan, bukankah merupakan bagian dari hasil perjuangan kalian dahulu ? Inikah sejarah yang ingin kalian torehkan ? Inikah tujuan reformasi yang kalian idam-idamkan bagi bangsa ini ?
Kini masih layakkah kalian berbangga dengan pencapaian kalian ? Hanya tiba digerbang reformasi sajakah pengawalan kalian ?
Tak sedikit yang menyesal pernah memperjuangkan reformasi.
Tak sedikit yang yang merindukan suasana sebelum reformasi.
Tak banyak peluh derita, tangis air mata sebelum reformasi.
Kini tak sedikit peluh derita bercucuran.
Kini tak sedikit tangisan air mata bergelinang.
Mungkinkah kalian, “Mahasiswa”, kini hanya diperalat oleh para pemimpin golongan tertentu ? Mungkinkah kalian, kini merupakan perjuang golongan tertentu ? Sehingga kepentingan bangsa ini bukan lagi menjadi prioritas pengawalan dan perjuangan “calon intelektual”.
Bila kemungkinan itu benar adanya, maka :
1.       "Kalian" adalah penyebab, yang melahirkan kesusahan dan penderitaan bangsa ini.
2.       "Kalian" tidak layak mengatasnamakan rakyat manapun yang merupakan bagian dari bangsa ini.
3.       "Kalian" hanyalah calon intelelektual perusak masa depan bangsa ini.

Jadi janganlah lagi Kalian larut dalam kebanggaan yang belum sesuai dengan tujuannya. Sekarang, mari kita berbenah, dan bersama-sama dengan generasi saat ini untuk berkontribusi secara positif demi saudara-saudara kita, demi bangsa ini, dan demi Merah Putih.

Janganlah sekali-kali kita nodai Merahnya Keberanian dan Putih Sucinya Sang Saka.

Janganlah kita biarkan Sang Garuda malu untuk tegakkan kepalanya.
Biarlah Kebhinekaan Kita tetap mengudara, dan NKRI terpatri dalam sanubari kita.

KEGALAUAN “BHINEKA TUNGGAL IKA” KITA sebagai akibat OTONOMI DAERAH


[“Undang-undang (UU) Khusus”-Daerah Istimewa; Daerah Khusus]

Bhineka Tunggal Ika “Berbeda-beda tetapi Satu” ,seyogyanya bukanlah hanya merupakan sebuah slogan kebangsaan semata yang sering digaung-gaungkan. Mestinya haruslah menjadi ikrar/janji/sumpah yang tertanam disanubari setiap insan bangsa Indonesia dan merupakan suatu hal sakral  yang tidak akan pernah dapat dilepaspisahkan mulai dari tata kehidupan lapisan masyarakat yang tertinggi hingga barisan akar rumput.

Seiring dengan semakin berkembangnya arus politik di bangsa Indonesia ini dan di masa yang sering dikatakan bahwa rakyat Indonesia semakin dewasa dalam berpolitik, hadirlah suatu kebijakan dengan tujuan mulia, diantaranya pemerataan pembangunan didaerah-daerah sesuai dengan ciri khas dan karakteristik masing-masing daerah yakni “Otonomi Daerah”.

Otonomi daerah dengan tujuan mulianya itu, mengubah sistim pemerintahan sebagaimana yang dulunya dipraktekkan pada era Orde Baru, dimana semua kekuasaan ada  pada pusat yang dikenal dengan istilah sentralisasi, kini terubahlah menjadi sistim pemerintahan yang desentralisasi, yang mana kekuasaannya tidak lagi terpusat namun dibagi-bagi pada pemerintahan di daerah.
Namun sejak diberlakukannya otonomi daerah ini, banyak (lebih dari 2) daerah-daerah (propinsi) berbondong-bondong ingin menjadi yang dikhususkan/diistimewakan. Tidak hanya dalam balapan mencari kekhususan/keistimewaan, namun dalam perekrutan-perekrutan anak-anak terbaik bangsa yang akan mengabdi bagi bangsa dan negara terprioritaskan “anak daerah”.

Saya menggunakan istilah balapan, karena saya yakin telah terjadi perebutan posisi dalam meyatakan suatu jati diri bahwa kita ini khusus/kita ini istimewa. Posisi ini tentunya akan berdampak banyak bagi daerah yang nantinya menjadi daerah khusus/istimewa, dan tidak akan terpungkiri. Pasti aka nada perlakuan-perlakuan istimewa, perhatian-perhatian khusus yang tentunya datang dari pemerintah pusat.

Kemudian, anak daerah diprioritaskan ! Memangnya yang terpilih nanti akan mengabdi bagi daerah dengan mengibarkan panji-panji daerahnya ? ataukah harus mengabdi bagi Indonesia dan patut mengibarkan Sang Saka Merah Putih ? Harusnya kita punya hak yang sama dimanapun kita berada, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampe Rote selama ada Merah Berkibar disitu. Tidak peduli kita berasal dari suku/agama/ras apapun. 

Bukankah Indonesia ini dapat terbentuk dan merdeka karena “Para Pendahulu/Para Pejuang/Para Pahlawan” yang sering dikenang, yang nama dan sosoknya telah diabadikan telah bertekad bahwa Kita adalah Satu, Indonesia (Peristiwa Sumpah Pemuda) ? Bukankah negara kita  yang tercinta ini merupakan negara Kesatuan (UUD NKRI 1945 pasal 1)? Dan  bukankah telah terpatri dengan jelas pada Lambang Negara kita (Pancasila), Bhineka Tunggal Ika ? Belum cukupkah semua ini menjadi pernyataan kita bersama selaku generasi penerus bangsa ? ataukah kedewasaan generasi kita dalam berpolitik belum cukum memberikan pemahaman akan semua hal ini ?
Apakah ada yang salah dengan kebijakan penetapan dan penerapan kekhususan dan keistimewaan ini ? ataukah tersirat kepentingan-kepentingan politik belaka disana ? Dan saya ingin mengatakan bahwa, secara tidak sadar, pemerintah telah membuka ruang untuk berkompromi tentang “Bhineka Tunggal Ika” dan secara tidak langsung pemerintah telah mengkotak-kotakan rakyatnya sendiri. Dan tidak menutup kemungkinan Negara Kesatuan hanya slogan !

Kini, ketika BHINEKA TUNGGAL IKA tidak sepenuhnya dijiwai, tidak seutuhnya dimaknai, bahkan dengan mudah dapat dikompromikan maka “BHINEKA TUNGGAL IKA-Berbeda-beda tetapi Satu” Kita tengah dilanda BADAI KEGALAUAN !


Terlepas dari materi aturan-aturan yang mempertegas kekhususan dan keistimewaan itu, salah satu dosen saya pernah mengatakan, aturan yang mengatur kekhususan/keistimewaan yang disebut “UU Khusus” itu bertentangan dengan hirarki peraturan perundang-undangan dimana tidak ada yang namanya “UU Khusus”. Yang ada hanyalah UU (undang-Undang).

Mengabdi demi perut VS Mengabdi bagi Merah Putih


Tampak gagah memang bila berpakaian lengkap seragam suatu Angkatan (entah TNI ataupun POLRI). Apalagi dibekali dengan senjata, seakan menyempurnakan kegagahan berseragam. Inilah salah satu alasan yang sering kita terdengar dari bibir-bibir generasi muda yang mencita-citakan menjadi seorang anggota POLRI atau TNI.

Namun seiring perkembangan gaya hidup, tantangan kehidupan yang semakin susah diperoleh, dalam hal ini kebutuhan ekonomi (perut), maka ada terjadi pergeseran “Nilai Pengabdian” hampir di semua bidang-bidang kerja terutama pekerjaan-pekerjaan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, pelayan-pelayan public, abdi masyarakat.

Dalam topic ini, ingin diuraikan sedikit pendapat/pandangan yang terhadap pergesaran nilai pengabdian oleh  oknum tertentu di tubuh POLRI dan TNI. Padangan yang teruraiakan nantinya didasarkan atas kepedulian serta kecintaan kepada POLRI dan TNI semata. Tidak ada maksud sedikitpun untuk mengucilkan atau mencari-cari kesalahan kedua angkatan tersebut.

Pertama, dulu (jaman orang tua kita) sering disebutkan, “pekerjaan cari manusia”. Hal ini berarti begitu banyak lowongan pekerjaan. Namun kini, isitilah tersebut serasa tidak berkenan lagi menghiasi dunia pekerjaan. Hampir dikeseluruhannya ada jatahnya, harus siapkan sekian rupiah !

Kedua, dulu orang-orang mau bekerja karena 1) ingin mengabdi untuk Merah Putih. 2) ingin melayani rakyat 3) urusan perut. Sekarang, karena tuntutan perut maka terjadilah pergeseran nilai pengabdian. Orang-orang mau bekerja 1) karena butuh makan 2) ingin punya gaji 3) nantinya baru mengabdi.

Ketiga, dulu orang-orang yang bekerja, malunya luar biasa apabila tidak bisa melayani dengan baik, mengecewakan rakyat, karena ada kesadaran yang luar biasa patut untuk diteladani kalau semua yang mereka peroleh (Pakaian dinas, gaji) itu berasal dari rakyat. Jadi tidak ada yang patut disombongkan. Namun kini, pakaian dinas itu dipakai untuk menakut-nakuti rakyat, sewengang-wenang terhadap rakyat, bahkan tak jarang pakaian itu dijadikan tameng bagi kelompoknya.

Semakin ironis memang, pengabdian di masa sekarang ini. Masa yang mengurani nurani. Perbuatan oknum, merusak kebanggaan dan kehormatan bersama. Perbuatan oknum, mengurangi dan menghilangkan kepercayaan berharga.

UAN (UJIAN AKHIR NASIONAL) Penyakit atau Prestasi ? Cobaan atau Uji Nasib ?

UAN kini merupakan momok yang menakutkan bagi segenap generasi muda dibangku sekolah. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi. Tak banyak siswa/siswi yang stress/depresi saat akan menghadapi UAN. Meskipun pada akhirnya ada juga prestasi yang diraih oleh segelintir siswa/siswi namun efek terbesarnya ialah meninggalkan kesan yang menakutkan bahkan traumatic bagi pribadi siwa/siswi serta para guru yang telah berdedikasi dalam hal membimbing dan mendidik.

Dengan kejadian seperti diatas, masih dapatkah kita berbangga dengan prestasi yang dicapai segelintir siswa/siswa ? Sedangkan ada sekian banyak penyakit yang telah ditimbulkan karena UAN ?
Seingat saya, dalam salah satu berita, Progam pemerintah ini direalisasikan dengan salah satu maksud menandingi standar kelulusan di negara-negara tetangga yang telah berada pada kisaran nilai 8.
Patut diyakini, pemerintah sebenarnya sangat sadar bahwa belum tercapainya pemerataan pembangunan dunia pendidikan. Masih banyak saudara-saudara di berbagai daerah pelosok yang belum dapat menikmati sarana dan prasana pendidikan yang memadai.

Diantaranya, kekurangan tenaga pengajar/guru, kekurangan buku-buku pendukung, masih terisolasi dari dunia global akibat kurangnya informasi yang diperoleh, keadaan sekolah yang sangat memprihatinkan, belum lagi letak sekolah yang begitu amat jauh dari pemukiman siswa/siswi. Dengan kata lain, ada daerah dimana ketikan ingin bersekolah, siswa/siswi harus bersekolah didesa seberang yang jaraknya bahkan berkilo-kilo meter dari rumah mereka.

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak didukung dengan pengawasan langsung dilapanganlah yang menjadi persoalan sejauh mana pemerintah memahami rakyatnya, terutama siswa/siswa, generasi penerus bangsa. Pengawasan yang minim, yang hanya membaca kertas (laporan), bersenandung dikursi putar, inilah yang menurunkan kepedulian pemerintah.

Anggaran 20 persen yang dialokasikanpun belum mampu memeratakan pembangunan dunia pendidikan. Apalagi pemerataan tingkat kelulusan ! Jangan mimpi boss… mendekati ujian, hampir seluruh siswa bergerilya mencari bocoran soal, mencari kunci-kunci jawaban. Entah itu benar, entah itu salah, urusannya nanti. Yang penting sudah ditemukan sedikit pelipur lara.

Mana bisa belajar sekian tahun, kelulusannya serta kelanjutan masa depannya hanya ditentukan hanya dalam seminggu ? Siswa/siswi yang pintar pun ada yang tidak lulus ! Salah siswa/siswi atau salah pemerintah ? Orang tua mati-matian cari duit buat sekolah anaknya selama bertahun-tahun, demi masa depan, seakan hilang arah ketika mendengar anaknya tidak lulus dalam perjuangan seminggu !
Sebenarnya UAN ini dapat dikategorikan Cobaan kah atau Uji Nasib ?

Program UAN juga selalu diupgrade. Dari tahun ke tahun jumlah paket soalnya ditambah ! Apa gunanya ? agar tidak ada saling contek ? agar pusing cari kunci jawaban/soal bocoran ? atau pemerintah sedang melatih mental generasi muda agar piker diri masing-masing saja (apabila 1 ruangan ujian, masing-masing siwa dapat 1 paket ), biar negara tetangga bisa WOW gitu mungkin sampai koprol melihat hasil UAN generasi penerus bangsa ? entah memuaskan, lulul. Atau….hmmmm

Sebenarnya program UAN ini, program untuk mencerdaskan bangsa terutama generasi penerus ataukah program untuk memperkaya kelompok tertentu ? Bayangkan saja bila UAN dijadikan proyek ! Pabrik kertas, pabrik tinta, pasti dapat omset besar sekali. Jadi mungkin saja, hutan dinegeri kita makin gundul, salah satu penyebabnya karena program UAN yang membutuhkan banyak sekali kertas.
Pastinya masih ada solusi, jalan terbaik dalam hal mencerdaskan bangsa yang didalamnya terdapat berjuta jiwa generasi muda, calon pemimpin masa depan. UAN bukan satu-satunya jalan untuk mengukur dan meningkatkan kualitas pendidikan dinegeri ini.

Masih banyak hal-hal di dunia pendidikan yang perlu ditata, dikembangkan. Bahkan lebih penting dari UAN dan lebih menjanjikan serta menjamin kualitas generasi penerus bangsa.
Tiba saatnya untuk lebih tegas menilai dan memutuskan bahwa  UAN akan menghasilakan Prestasi atau Penyakit ? dan apakah UAN merupakan Cobaan atukah sekedar Uji Nasib ? 

Yang tersirat dari UN (UJIAN NASIONAL)




UN merupakan singkatan dari ujian nasional sekaligus merupakan istilah yang begitu dekat dengan kalangan siswa/I, baik yang sedang menimbah ilmu di tiangkat dasar (SD), menengah (SMP) maupun pada tingkat atas (SMA).
Terlepas dari segala tujuan baik bahkan mulia yang ingin dicapai dengan proses pelaksanaan UN, ada hal-hal yang secara sadar ataupun tidak, merupakan akibat yang dihasilkan dari pelaksanaan UN tersebut. Diantarannya (Menurut penulis) :
1.       Psikologis (Rasa Takut)
Tidak sedikit siswa/I yang merasa takut ketika akan menghadi UN. Dan ternyata, bukan hanya siswa/I yang, merasa takut akan UN namun sekolah/guru dan orang tua pun turut merasa takut apabila anak didik/anak mereka tidak lulus. Hal ini bukan lagi menjadi rahasia, kian hari hal ini semakin terang benderang terlihat.
Ketika himbauan 3S (santai, serius, sukses) dikumandangkan, akan terobatikah rasa takut yang di alami siswa/I ? Dapatkah peristiwa UN ini dikatakan sebagai suatu peristwa yang mengganggu kenyaman hidup seseorang terumata generasi muda ?
Pernahkah terbanyangkan berapa juta jiwa, anak bangsa yang mengalami ketakutan akan UN ?
2.       Melahirkan peluang berbuat curang
Mendekati UN tak jarang sesalu saja ada orang/siswa/I yang berupaya mencari jalan untuk memperoleh bocoran soal. Salah satu alasan klasik  yang mendasari perbuatan tersebut iialah rasa takut tidak akan lulus. Ketika standarisasi nilai dinaikan, jumlah paket soal dinaikan, rasa takut pasti naik dan tidak menutup kemungkinan semakin banyak siswa/I akan berupaya kreatif (negatif) hanya untuk memperoleh bocoran soal.
3.       Momen untuk pendapatan tambahan.
Dengan bocaran-bocoran soal yang selalu terdengar pada momen-momen UN, diisukan ada sekian rupiah yang beredar untuk memperoleh bocoran tersebut, bukan suatu hal yang mustahil bila saat-saat seperti ini dijadikan untuk memperoleh pendapatan tambahan.
4.       Keadilan yang menjebak
Suatu hal yang adil seluruh siswa/I di negara tercinta, Indonesia ini tidak ada yang luput dari UN. Tidak ada yang dianakemaskan. Semuanya hampir merasakan ketakutan yang sama bahkan merasakan peluang berbuat curang yang memang hampir sama. Namun keadilan itu bagi penulis ialah keadilan yang menjebak.
Ketika infrastruktur, tenaga pendidik dalam dunia pendidikan ini tidak merata hingga pelosok negeri ini, adanya kesenjangan yang begitu luar biasanya, UN harus dilaksanakan diseluruh bagian negeri ini.
Walaupun ada pembedaan kalsisfikasi soal (A/B/C) bagi tiap-tiap daerah (berdasarkan info yang bisa dipercaya, tipe soal yang A itu cukup tinggi tingkat kesulitan hingga ke tipe C/D yang semakin berkuran tingkat kesulitannya.), namun merasa tidak adil bahkan hal ini melahirkan pembedaan dalam bingkai negara kesatuan. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan.

Harus Bisa !
Melihat pelaksanaan UN yang belum tentu juga menjamin mutu dan tingkat kecerdasaan anak bangsa sudah selayaknya pemerintah mulai memikirkan cara atau metode lainnya. Tidak hanya berkecamuk dengan metode UN yang berlaku saat ini. Dan saya yakin pemerintah  Bisa menemukan cara itu.

Sebelum mengakhiri penulisan ini, saya ingin menyempaikan kembali apa yang pernah saya baca pada sakah satu buku mengenai tingkat kecerdasan orang yahudi yang begitu luar biasa. Dikalangan bangsa Yahudi, sejak awal, sejak masa kecil, anak-anak mereka sudah sudah dipersiapkan sesuai dengan minat dan bakatnya hingga dimasa sekolah. Hal ini seperti dipupuk hingga memukau pada saat m,ereka beranjak dewasa, masuk ke perguruan tinggi.  Tidak seperti pendidikan kita di Indonesia yang memaksa agar seluruh pelajaran harus bisa dikuasai oleh anak-anak bangsa. Pemenang olimpiadepun pada salah satu bidang belum tentu memenangi olimpiade dibidang lainnya. Karena setiap anak itu unik dan memiliki karakternya tersendiri ?
Ini sebabnya, pemerintah Harus Bisa menemukan cara terbaik dalam meningkatkan hingga memperoleh mutu pendidikan yang semakin baik tidak hanya mau berkecimpung dengan hal-hal yang menjadi rutinitas. Akhirnya saya ingin mengutip Pendapat Presiden SBY yang say abaca dari buku karangan Dr. Dino Patti Djalal-Harus Bisa, Think Out The Box !