THE
BIG FAMILY
INTELEKTUAL
[Penganut
agama “X”]
“PEGANGAN
KAMI”
[Agama
“X”]
&
SCIENTIFIC
OTAK : JERMAN
SEMANGAT : JEPANG
HATI : [Kota
suci agama “X”]
KEPRIBADIAN : INDONESIA
“Mahkluk macam
apa ini ?”
Mengapa Sang
Indonesia hanya kebagian kursi menteri kepribadian ? Semua jabatan ini diisi
menteri dari luar negeri. Mungkinkah otak, semangat dan hati Indonesia lebih
rendah, lembik, dan hina dibanding otak Jerman, semangat Jepang dan hati kota
suci luar negeri ? Rupanya di mata kebanyakan kita, sapi tetangga masih lebih
montok disbanding sapi sendiri.
Tahun 2005,
budayawan Kuntowijoyo menulis di harian Kompas :
… Kita sekarang jadi
bangsa klien (klien yang tergantung pada patron).
Melaluimodal
dan produk, kita menjadi kliean Amerika, Eropa, Jepang, Taiwan, Korea Selatan,
Singapura, dan RRC. Melalui tenaga kerja Indonesia (TKI/tenaga kerja wanita (TKW),
kita menjadi klien Amerika, Jepang, Amerika Latin, Taiwan, dan India. Melalui
utang, kita menjadi klien IMF, Bank Dunia, ADB, CGI dan IDB.
Pada
tahun 1945, kita sudah berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa mandiri.
Kemudian kita terpuruk menjadi bangsa klien. Kalau salah urus, dari bangsa
klien kita bisa jadi bangsa kuli, dari bangsa kuli menjadi “gelandangan di
rumah sendiri” – istilah Emha Ainun Nadjib.
Lanjut kata
Kuntowijoyo :
Sebagai
bangsa klien, kita tidak merasa bangga bila belum mengonsumsi barang-barang
impor, yang tampaknya buatan luar negeri atau setidaknya barang-barang produk
franchise.
Mental klien
adalah mental rusak karena ia menggrogoti penghargaan kita kepada diri sendiri
dan melumpuhkan kemandirian kita. Ia lahir dari jiwa silap (dan juga kalap)
yang memandang orang luar selalu lebih baik, dan tidak bisa memandang diri
sendiri cukup baik. Papan namanya rendah diri bukan rendah hati.
Sastrawan Remy
Sylado secara berkelakar : satu nusa, satu bangsa, dua language. Hatinya dikecutkan oleh para pesolek bahasa:
Yang
saya maksudkan pesolek di sini adalah orang-orang terpelajar, terutama mereka
yang saat ini lazim disebut sebagai “elit politik”, yang dalam rangka tampil
beda di media pers, televisi ataupun Koran dan majalah, lantas berbicara kenes
dengan kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang penuh digincui dengan kata-kata
bahasa Inggris. Karuan timbul rasa masygul, jangan-jangan ikrar pemuda pada
1928 sekarang ini melaju ke prayojana baru: satu nusa, satu bangsa, dua language. Terus terang, saya tidak
melihat ini sebagai isyarat kemajuan, tapi sebaliknya, kemunduran. Saya juga
tidak melihat ini sebagai sesuatu yang sekedar menyedihkan tapi malah memuakan.
Cocok ! Ini
menyingkapkan watak memalukan di balik kepribadian klien. Ragu harkat diri dan
jadi klien bahasa Inggris dalam hal ini sama dengan rasa rendah diri dan
gandrung asing yang disebut Kuntowijoyo.
Otak Indonesia
Lama sebelum
leluhur orang Jerman menyeberang dari Kaukasus ke negerinya yang sekarang ini,
orang Nusa Selatan/Austronesia, leluhur sebagian besar orang Indonesia, telah merambah
sepertiga wilayah bumi dengan menualangi lautan sejak 3.000 tahun SM. Daerah
yang mereka jelajahi dan duduki merentang dari Taiwan di utara sampai Selandai
Baru di selatan dan dari Rapa Nui (sekarang wilayah negara Chili) di timur
sampai Madagaskar (di kaki benua Afrika) di barat. Mereka adalah “para pelaut
dan penjelajah par excellence dunia
pra modern” yang tertawa di depan ide bumi datar.
Borobudur –
siapa yang telah memecahkan misteri pembangunannya ? Sampai hari ini para pakar
berkerut dahi membayangkan cara Gunadharma, sang arsitek, menjulangkan biara
semegah itu. Seorang penulis melaporkan kebingungan mereka kepada kita:
Sampai
saat ini, ada beberapa hal yang menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi
Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah
asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalamukuran yang
dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses
pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara
menaikan batu-batu itu dari dasar halam candi sampai ke puncak, alat Derek apa
yang dipergunakan ? Mengingat pada waktu itu belum ada gambar biru (blue print), lalu dengan sarana apakah
mereka itu kalau hendak merundingkan langkah-angkah pengerjaan yang harus
dilakukan, dalam hal gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu
dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai
dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas
?
Semangat Indonesia
Semangat
Indonesia adalah semangat yang dibentuk oleh bauran tabiat khas suku-sukunya.
Dalam keras dan dalam lembut, tabiat-tabiat ini saling melengkapi seperti badak
dengan burung jalak. Semangat Indonesia bukan semangat berjelajah dan meluas
saja, melainkan semangat berpadu dan bersatu juga.
Semangat Jawa
dengan gotong royongnya atau semangat Minahasa dengan mapalus-nya berjalan seiring semangat Melayu: “Ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul”. Semangat Ambon dengan pela-gandong-nya yang memberikan ruang kepada rakyat yang berbeda
suku dan agama untuk hidup rukun dan bahu-membahu.
Madura dijiwai
konsep malo (malu) yang berkaitan erat dengan harga diri.
Abdul Latief Wiyata, “bagi warga Madura, lebih baik mati disbanding ada tetapi
tiada. Kalau sudah malo berlaku
ungkapan tembang pote mata, angor mate
katelak tolang [daripada berputih mata, lebih baik mati kelihatan tulang].
Orang Aceh bersifat pantang menyerah, selama masih melihat oeluang untuk
menang. Bilamana kekuatan musuh terbaca sedemikian besarnya sehingga tidak
diragukan lagi musuh akan menang, barulah mereka akan meletakkan senjata.
Semangat
Makassar abad ke-17 yang “mengembangkan aksara asli Indonesia sebagai alat
bahasa bagi tujuan yang bersifat modern”. Mereka bahkan meninggalkan “suatu
hukum niaga dalam pelayaran, yang disebut Ade’Allopiloping
Bicaranna Pabbalu’e dan tertulis
pada lontar oleh Amanna Gappa.
Semangat Bali
menjalin perdagangan ekspor-impor dengan Singapura dan Australia sehingga
begitu kaya pada abad-19. Mereka mampu melengkapi pasukan mereka dengan senapan
muktakhir untuk ukuran masa itu, seperti Winchester
dan Spencer.
Hati Indonesia
Hal yang
mengusik dari ungkapan “hati kota suci” bukanlah muatan rasa hormat didalamnya
kepada wilayah/bangsa asal akidah kita, melainkan muatan kecenderungan untuk
menjadi klien budaya bangsa asal akidah itu. Ini membuat “hati Indonesia” jadi
barang langka pada masa sekarang ini. Terlalu banyak orang Indonesia yang senang berkiprah sebagai penganut budaya bangsa pembawa agamanya, bukan
sebagai penganut agamanya semata.
Gus Dur
diprotes waktu menyarankan mengganti assalamualaikum
dengan selamat pagi/siang/sore/malam, tetapi orang Nasrani Indonesia malah
tampil ber-shalom ria unutk
menandingi assalamualaikum. Lama
setelah masjid Demak tegak dengan corak Jawanya yang kental, banyak masjid
Indonesia terkini membuat orang merasa berada di Jazirah arab. Sementara itu,
banyak gereja Indonesia sejak dahulu sampai sekarang membuat orang merasa
berada di Eropa Barat atau Amerika Utara. Adakah hati Indonesia yang bijak
menerima agama dari bangsa lain tanpa menjadi klien budaya bangsa itu ?
Ucapan Gus Dur di bawah ini dapat menjadi cermin:
Masjid
beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri di negeri kita,
dituntut ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang ‘serba Jawa’, Saudati Aceh, Tabut
Pariaman, didesak ke pinggiran oleh qasidah berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala
loka (udeng atau ikat di Jawa) harus mengalah kepada sorah ‘merah putih’ model
Yasser Arafat.
….
Anehkah
kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: Bagaimana melestarikan
akar-akar budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini ? Ketika
orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja Katedral ‘serba Ghotik’ di
kota-kota besar dan ‘gereja kota kecil’ model Eropa, dan mencoba menggali
arsitektur asli kita sebagai pola baru bangunangereja, layakkah kaum muslimin
lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India ? Ketika ekspresi kerohanian umat
Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapat kaum muslimin
‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan
sembahyang ?
Juga,
mengapa harus menggunakan kata ‘salat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak
kalah benarnya. Mengapahkan harus ‘dimusalakan’, padahal dahulu toh cukup
langgar atau surau ? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau
dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz dan syekh,
baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang
semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini ?
Sampai saat
ini orang Indonesia ibarat cecak muda yang gundah ketika pertama kali
kehilangan ekor. Ia jadi rendah diri melihat kadal dan bunglon tetangganya yang
masih berekor utuh. Sebenarnya kehilangannya sementara saja, karena ekor itu
pasti tumbuh lagi. tetapi rasa rendah diri begitu menguasainya sehingga ia
menganggap hina keadaannya sebagai cecak. Ia mulai meniru tingkah kadal dan
bunglon. Ia mulai tinggal melulu di alam terbuka. Ia belajar melata di rumput
supaya bisa seperti kadal dan kadang-kadang mencelup diri dalam pewarna supaya
tubuhnya bisa sewarna dengan tempat piajakannya seperti bunglon. Ia lupa bahwa
kehebatan cecak merayap tegak atau terbalik tidak dimiliki kadal. Ia lupa bahwa
kemuliaan cecak “yang dapat ditangkap dengan tangan, tetapi yang juga ada di
istana-istana raja” tidak dimiliki bunglon. Seumur hidup, bahkan setelah
ekornya tumbuh lagi, ia Cuma jadi tawanan gaya hidup kadal dan bunglon yang
tidak pernah pas dengan tabiat sejatinya.
Dengan otak
Indonesia, semangat Indonesia, dan hati Indonesia, barulah dapat terbentuk
suatu kepribadian yang sejati Indonesia – bukan yang tak berkepribadian. Kalau
di hutan pohon-pohn ditebangi dan satwa dihalau, lalu prasarana dibangun, dan
pelan-pelan permukiman serta pertokoan didirikan, tempat itu takkan disebut
hutan lagi. Dengan cara yang sama kita bisa memahami bahwa otak asing, semangat
asing dan hati kota suci asing tak mungkin membentuk kepribadian Indonesia yang
sejati.
Adalah baik
untuk memperkaya diri dengan belajar dari otak Jerman, semangat Jepang dan hati
kota suci luar negeri. Tetapi “memperkaya” janganlah berarti meniadakan daya-daya yang sudah ditanam
Allah dalam diri kita.
Sumber: Bab V Buku Demi Allah dan Demi Indonesia - Samuel Tumanggor