Pages - Menu

Selayang Pandang

"Tak seorang pun mampu mendefenisikan cinta dengan sempurna sebab tak seorang pun juga mampu mencintai secara sempurna. Hanya Tuhan yang sempurna, termasuk dalam hal mencintai kita, anda dan saya !"

About Me

My photo
Hi. saya JP / Jansn / Pur. Lahir di tanggal 17 September. Sukses terbesarku ialah ketika setiap pribadi yang mengenalku, tersenyum bahagia saat mendengar namaku dan mereka katakan, 'aku mengasihi dia'.

Monday, April 20, 2015

Resume KEPRIBADIAN TAK BERKEPRIBADIAN



THE BIG FAMILY
INTELEKTUAL
[Penganut agama “X”]

“PEGANGAN KAMI”
[Agama “X”]
&
SCIENTIFIC
OTAK                         : JERMAN
SEMANGAT              : JEPANG
HATI                          : [Kota suci agama “X”]
KEPRIBADIAN        : INDONESIA

“Mahkluk macam apa ini ?”
Mengapa Sang Indonesia hanya kebagian kursi menteri kepribadian ? Semua jabatan ini diisi menteri dari luar negeri. Mungkinkah otak, semangat dan hati Indonesia lebih rendah, lembik, dan hina dibanding otak Jerman, semangat Jepang dan hati kota suci luar negeri ? Rupanya di mata kebanyakan kita, sapi tetangga masih lebih montok disbanding sapi sendiri.
Tahun 2005, budayawan Kuntowijoyo menulis di harian Kompas :
… Kita sekarang jadi bangsa klien (klien yang tergantung pada patron).
Melaluimodal dan produk, kita menjadi kliean Amerika, Eropa, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan RRC. Melalui tenaga kerja Indonesia (TKI/tenaga kerja wanita (TKW), kita menjadi klien Amerika, Jepang, Amerika Latin, Taiwan, dan India. Melalui utang, kita menjadi klien IMF, Bank Dunia, ADB, CGI dan IDB.
Pada tahun 1945, kita sudah berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa mandiri. Kemudian kita terpuruk menjadi bangsa klien. Kalau salah urus, dari bangsa klien kita bisa jadi bangsa kuli, dari bangsa kuli menjadi “gelandangan di rumah sendiri” – istilah Emha Ainun Nadjib.

Lanjut kata Kuntowijoyo :
Sebagai bangsa klien, kita tidak merasa bangga bila belum mengonsumsi barang-barang impor, yang tampaknya buatan luar negeri atau setidaknya barang-barang produk franchise.

Mental klien adalah mental rusak karena ia menggrogoti penghargaan kita kepada diri sendiri dan melumpuhkan kemandirian kita. Ia lahir dari jiwa silap (dan juga kalap) yang memandang orang luar selalu lebih baik, dan tidak bisa memandang diri sendiri cukup baik. Papan namanya rendah diri bukan rendah hati.
Sastrawan Remy Sylado secara berkelakar : satu nusa, satu bangsa, dua language. Hatinya dikecutkan oleh para pesolek bahasa:
Yang saya maksudkan pesolek di sini adalah orang-orang terpelajar, terutama mereka yang saat ini lazim disebut sebagai “elit politik”, yang dalam rangka tampil beda di media pers, televisi ataupun Koran dan majalah, lantas berbicara kenes dengan kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang penuh digincui dengan kata-kata bahasa Inggris. Karuan timbul rasa masygul, jangan-jangan ikrar pemuda pada 1928 sekarang ini melaju ke prayojana baru: satu nusa, satu bangsa, dua language. Terus terang, saya tidak melihat ini sebagai isyarat kemajuan, tapi sebaliknya, kemunduran. Saya juga tidak melihat ini sebagai sesuatu yang sekedar menyedihkan tapi malah memuakan.
Cocok ! Ini menyingkapkan watak memalukan di balik kepribadian klien. Ragu harkat diri dan jadi klien bahasa Inggris dalam hal ini sama dengan rasa rendah diri dan gandrung asing yang disebut Kuntowijoyo.

Otak Indonesia
Lama sebelum leluhur orang Jerman menyeberang dari Kaukasus ke negerinya yang sekarang ini, orang Nusa Selatan/Austronesia, leluhur sebagian besar orang Indonesia, telah merambah sepertiga wilayah bumi dengan menualangi lautan sejak 3.000 tahun SM. Daerah yang mereka jelajahi dan duduki merentang dari Taiwan di utara sampai Selandai Baru di selatan dan dari Rapa Nui (sekarang wilayah negara Chili) di timur sampai Madagaskar (di kaki benua Afrika) di barat. Mereka adalah “para pelaut dan penjelajah par excellence dunia pra modern” yang tertawa di depan ide bumi datar.
Borobudur – siapa yang telah memecahkan misteri pembangunannya ? Sampai hari ini para pakar berkerut dahi membayangkan cara Gunadharma, sang arsitek, menjulangkan biara semegah itu. Seorang penulis melaporkan kebingungan mereka kepada kita:
Sampai saat ini, ada beberapa hal yang menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalamukuran yang dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu dari dasar halam candi sampai ke puncak, alat Derek apa yang dipergunakan ? Mengingat pada waktu itu belum ada gambar biru (blue print), lalu dengan sarana apakah mereka itu kalau hendak merundingkan langkah-angkah pengerjaan yang harus dilakukan, dalam hal gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas ?

Semangat Indonesia
Semangat Indonesia adalah semangat yang dibentuk oleh bauran tabiat khas suku-sukunya. Dalam keras dan dalam lembut, tabiat-tabiat ini saling melengkapi seperti badak dengan burung jalak. Semangat Indonesia bukan semangat berjelajah dan meluas saja, melainkan semangat berpadu dan bersatu juga.
Semangat Jawa dengan gotong royongnya atau semangat Minahasa dengan mapalus-nya berjalan seiring semangat Melayu: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Semangat Ambon dengan pela-gandong-nya yang memberikan ruang kepada rakyat yang berbeda suku dan agama untuk hidup rukun dan bahu-membahu.
Madura dijiwai konsep malo  (malu) yang berkaitan erat dengan harga diri. Abdul Latief Wiyata, “bagi warga Madura, lebih baik mati disbanding ada tetapi tiada. Kalau sudah malo berlaku ungkapan tembang pote mata, angor mate katelak tolang [daripada berputih mata, lebih baik mati kelihatan tulang]. Orang Aceh bersifat pantang menyerah, selama masih melihat oeluang untuk menang. Bilamana kekuatan musuh terbaca sedemikian besarnya sehingga tidak diragukan lagi musuh akan menang, barulah mereka akan meletakkan senjata.
Semangat Makassar abad ke-17 yang “mengembangkan aksara asli Indonesia sebagai alat bahasa bagi tujuan yang bersifat modern”. Mereka bahkan meninggalkan “suatu hukum niaga dalam pelayaran, yang disebut Ade’Allopiloping Bicaranna Pabbalu’e  dan tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa.
Semangat Bali menjalin perdagangan ekspor-impor dengan Singapura dan Australia sehingga begitu kaya pada abad-19. Mereka mampu melengkapi pasukan mereka dengan senapan muktakhir untuk ukuran masa itu, seperti Winchester dan Spencer.

Hati Indonesia
Hal yang mengusik dari ungkapan “hati kota suci” bukanlah muatan rasa hormat didalamnya kepada wilayah/bangsa asal akidah kita, melainkan muatan kecenderungan untuk menjadi klien budaya bangsa asal akidah itu. Ini membuat “hati Indonesia” jadi barang langka pada masa sekarang ini. Terlalu banyak orang Indonesia  yang senang berkiprah sebagai penganut budaya bangsa pembawa agamanya, bukan sebagai penganut agamanya semata.
Gus Dur diprotes waktu menyarankan mengganti assalamualaikum dengan selamat pagi/siang/sore/malam, tetapi orang Nasrani Indonesia malah tampil ber-shalom ria unutk menandingi assalamualaikum. Lama setelah masjid Demak tegak dengan corak Jawanya yang kental, banyak masjid Indonesia terkini membuat orang merasa berada di Jazirah arab. Sementara itu, banyak gereja Indonesia sejak dahulu sampai sekarang membuat orang merasa berada di Eropa Barat atau Amerika Utara. Adakah hati Indonesia yang bijak menerima agama dari bangsa lain tanpa menjadi klien budaya bangsa itu ?

Ucapan Gus Dur di bawah ini dapat menjadi cermin:
Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri di negeri kita, dituntut ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang ‘serba Jawa’, Saudati Aceh, Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh qasidah berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala loka (udeng atau ikat di Jawa) harus mengalah kepada sorah ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
….
Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: Bagaimana melestarikan akar-akar budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini ? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja Katedral ‘serba Ghotik’ di kota-kota besar dan ‘gereja kota kecil’ model Eropa, dan mencoba menggali arsitektur asli kita sebagai pola baru bangunangereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India ? Ketika ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapat kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang ?
Juga, mengapa harus menggunakan kata ‘salat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya. Mengapahkan harus ‘dimusalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau ? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini ?

Sampai saat ini orang Indonesia ibarat cecak muda yang gundah ketika pertama kali kehilangan ekor. Ia jadi rendah diri melihat kadal dan bunglon tetangganya yang masih berekor utuh. Sebenarnya kehilangannya sementara saja, karena ekor itu pasti tumbuh lagi. tetapi rasa rendah diri begitu menguasainya sehingga ia menganggap hina keadaannya sebagai cecak. Ia mulai meniru tingkah kadal dan bunglon. Ia mulai tinggal melulu di alam terbuka. Ia belajar melata di rumput supaya bisa seperti kadal dan kadang-kadang mencelup diri dalam pewarna supaya tubuhnya bisa sewarna dengan tempat piajakannya seperti bunglon. Ia lupa bahwa kehebatan cecak merayap tegak atau terbalik tidak dimiliki kadal. Ia lupa bahwa kemuliaan cecak “yang dapat ditangkap dengan tangan, tetapi yang juga ada di istana-istana raja” tidak dimiliki bunglon. Seumur hidup, bahkan setelah ekornya tumbuh lagi, ia Cuma jadi tawanan gaya hidup kadal dan bunglon yang tidak pernah pas dengan tabiat sejatinya.
Dengan otak Indonesia, semangat Indonesia, dan hati Indonesia, barulah dapat terbentuk suatu kepribadian yang sejati Indonesia – bukan yang tak berkepribadian. Kalau di hutan pohon-pohn ditebangi dan satwa dihalau, lalu prasarana dibangun, dan pelan-pelan permukiman serta pertokoan didirikan, tempat itu takkan disebut hutan lagi. Dengan cara yang sama kita bisa memahami bahwa otak asing, semangat asing dan hati kota suci asing tak mungkin membentuk kepribadian Indonesia yang sejati.
Adalah baik untuk memperkaya diri dengan belajar dari otak Jerman, semangat Jepang dan hati kota suci luar negeri. Tetapi “memperkaya” janganlah berarti meniadakan daya-daya yang sudah ditanam Allah dalam diri kita.



Sumber: Bab V Buku Demi Allah dan Demi Indonesia - Samuel Tumanggor

No comments:

Post a Comment