Ketika kita membuka pertengkaran antara masa lalu dan masa
sekarang, kita akan menemukan bahwa kita telah kehilangan masa depan.
Demikianlah yang dikatakan Winston Churchill.
Telah kita arungi masa kelam dalam tatanan kehidupan orang
basudara yang setia akan pela-gandong, dimana pertikaian berdarah yang
menghilangkan jutaan nyawa dan harta benda serta melahirkan perpecahan yang
jelas terlihat dimasa sekarang.
Kebersamaan bukan lagi komunitas kehidupan heterogen namun
kini menjadi komunitas homogen. Semuanya dipetak-petakan. Semuanya takar agar
seimbang. Semuanya diperhitungkan detailnya. Kesemuanya itu hanya agar tidak
menimbulkan kecemburuan dan iri hati yang berpotensi melahirkan konflik yang
selalu dikumandangkan merupakan konflik horizontal.
Kini tersiar beribu kabar, kita damai.
Namun juga bertabur berjuta tanya, apakah benar telah damai tiada lagi
kerusuhan, tiada lagi ketakutan yang melanda ?
Bukankah perih dan luka yang tak terlihat itu sulit disembuhkan ?
Saya korban, anda korban, kita semua adalah korban.
Siapa yang harus dituntut ? Siapa yang harus kita adili ?
Demi sebuah keadilan atas kesukaran yang pernah kita nikmati.
Luka itu masih ada. Luka itu masih tersembunyi dan mungkin
takkan pernah nampak. Setiap kita memiliki cerita, setiap kita memiliki kisah
yang apabila disandingkan hanya melahirkan perbedaan.
Khebinekaan kita yang terikat pela-gandong semakin samar.
Marilah kita jujur akan hal itu untuk hati kita akibat luka masa lalu.
Jangan terus berbohong, seakan semuanya baik-baik saja.
Yang terpendam pasti akan menguak.
Semua ingin nyaman, ingin tenang,
Semua inginkan kedamaian.
Namun apa artinya sebuah kata damai yang tercurap disertai
luka perih yang telah melebam dalam nurani ?
Apabila pela-gandong itu ada, masih ada, meskipun hanya setetes, biarlah kita
masohi kumpulkan setetes demi setetes bulir pela-gandong itu,
Dan menjadikannya aliran kesejukan yang menyatukan hidup orang basudara.