Ketika selesai membaca sebuah buku karangan Dr. Dino Patti
Djalal – Harus Bisa ! seni memimpin ala SBY pada beberapa minggu terakhir ini,
saya begitu kagum dengan pemerintah terutama Pak SBY yang begitu luar biasanya mampu memanfaatkan moment-moment kenegaraan/internasional untuk membangun citra
positif bagi bangsa Indonesia. Hal ini tentunya dapat ditegaskan oleh setiap
komentar/pendapat yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang terlibat langsung pada
moment-moment tersebut, dimana selalu ada kebanggaan akan Presiden
SBY/Indonesia.
Namun, kebanggaan tersebut tidak sepenuh berlaku dalam
negeri. Segenap pihak cenderung mengkritik pemerintah, tidak lagi sependapat
bahkan ingin kedudukan Pak SBY sebagai Presiden segara dilengserkan sebelum
habis masa jabatannya. Kepopuleran Pak SBY pun menurun drastis.
Kecenderungan untuk mengkritik bahkan ingin agar Pak
Presiden segara turun dari puncak kepemimpinannya dikarenakan pemerintahan yang
serasa semakin kacau. Korupsi semakin
merajalela, hukum yang seakan belum mampu mewujudnyatakan keadilannya, ekonomi
yang katanya membaik namun tidak kontras dengan realita yang selalu hadir dalam
berita-berita/program (contoh orang pinggiran, salah satu program favorit saya)
yang menampilkan penderitaan, kemiskinan
yang pada akhirnya memastikan adanya kesenjangan sosial yang begitu luar biasa diantara saudara sebangsa dan setanah air.
Ada yang salah, tentunya !
ketika perekonomian bangsa kita di mata internasional dieluk-elukkan namun masih banyak rakyat yang menderita,
dilanda kemiskinan, susah dalam menjalani hidup. Ini merupakan hal yang hampir
selalu dan senantiasa mewarnai layar kaca.
Otonomi daerah yang diyakini sebagai ujung tombak dalam
pembangunan sehingga akan berdampak langsung pada rakyat, nyatanya belum sesuai
dengan tujuannya. Otonomi daerah serasa merupakan desentralisasi kekuasaan yang
melahirkan penguasa-penguasa baru dan melahirkan peluang yang lebih besar bagi
golongan dan kelompok tertentu untuk menguras sumber daya daerah demi
tercapainya kepentingan penguasa yang tak berperikemanusiaan.
Otonomi daerah yang disertai dengan pemekaran kota/kabupaten
belum sampai pada tujuan sebagaimana mestinya. Mendagri Gumawan Fausi, dalam
Warta Akrab edisi Maret 2013, mengatakan bahwa 70% dari 205 DOB (daerah otonom
baru) gagal. Dalam edisi ini juga diberitakan bahwa 280 orang dari 863 pasangan
kepala daerah terjerat kasus hukum,
97,4% dari jumlah kepaa daerah justru pecah kongsi.
Kini dibalik kesuksesan perekonomian yang memberikan citra
baik bagi bangsa ini dikancah internasional masih terdapat rakyat yang menderita. Para Stakeholder yang harusnya menjadi
kepanjangantangan untuk menyejahterahkan rakyat hingga ke pelosok negeri pun tak kunjung menuai hasil
yang memuaskan.
Haruskah pemerintah pusat disalahkan ? atau kepala daerah yang disalahkan ? atau
juga rakyat yang disalahkan karena salah memilih pemimpinnya, baik di daerah,
di pusat, dan wakilnya di DPR ? Ataukah akan selalu menyalahkan system ? Biarlah rakyat yang menilai dan memberi
hukuman pada pemilu berikutnya. Baik itu Pemilu Presiden, Pilkada-pilkada, dan
pemilu legislative.
Sekiranya sebaik apapun sistemnya, namun yang menjalankan sistem
tersebut bermental bobrok, pastinyalah
akan berujung pada kehancuran.
Jadi sudah selayaknya
rakyat makin bijak, makin teliti, dan makin pintar dalam menggunakan hak
pilihnya. Jangan lagi tergiur oleh uang yang dijanjikan, atau larut dalam janji
manis politik tanpa melihat kinerja dan rekam jejak para calon.
No comments:
Post a Comment